Kamis, 13 Juni 2013

Positivisme VS Post Positivisme


Hubungan Internasional terus mengalami banyak perkembangan sejak berdirinya hingga saat ini. Hal tersebut tidak lain dipengaruhi oleh Great Debates dalam meramaikan disiplin ilmu ini. Berbagai perspektif bermunculan mempertahankan ideologi masing-masing. Perspektif tersebut berkembang dan mendasar pada pemikiran masing-masing keyakinan.
Great Debate keempat atau yang terjadi antara perspektif positivisme dan post-positivisme merupakan salah satu contoh perdebatan antara perspektif yang telah matang dengan perspektif alternatif. Great Debate keempat, atau yang sekarang ini sedang terjadi, adalah adanya pemikiran-pemikiran baru mengenai keadaan global pasca Perang Dingin. Banyaknya isu baru seperti gender, penghapusan ras, dan lain-lain dinilai tidak dapat dijelaskan oleh metode-metode yang telah ada sebelumnya. Great Debate keempat ini mencoba menunjukkan arah disiplin ilmu Hubungan Internasional yang lebih sesuai dengan Hubungan Internasional pada zaman sekarang dengan tidak hanya sekadar berkutat pada politik, militer, dan ekonomi sebagai bahasannya (Jackson & Sorensen 1999:80).
Positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Paham positivisme muncul pada abad ke-19. Paham ini membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif. Tokoh-tokohnya adalah Auguste Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer (1820-1903). Metodologi positivis dalam ilmu politik, termasuk HI, adalah warisan dari behavioralisme, dalam artian sebagian besar asumsi dari behavioralisme dijalankan pula oleh positivisme. Metodologi positivisme yakin bahwa observasi dan pengalaman adalah kunci untuk membangun dan menilai teori-teori ilmiah. Sesuai dengan pendapat pakar positivis, Auguste Comte, bahwa metodologi positivis berasal dari tiga hal dimana yang dianggap berperan penting dalam perkembangan sejarah perkembangan sosial. Tiga hal tersebut adalah teologi, metafisik, dan positivis. Di sinilah kata positivis muncul dan akan berkembang menjadi teori studi Hubungan Internasional yang lebih mendalam.
Positivisme mempunyai hasrat untuk menyatukan beragam pengetahuan ke dalam suatu unified of science seperti pemikiran ala Barat. Munculnya kaum behavioralis merupakan ciri gerakan positivisme. Kaum behavioralis mendorong Hubungan Internasional ke arah terciptanya teori yang bersiaft eksplanatori dan prediktif atau dengan kata lain Hubungan Internasional harus bisa menjelaskan dan mampu memprediksi. Menurut Waltz (1973), teori Hubungan Internasional haruslah teori empiris, sebab ia nantinya akan dapat memprediksi perilaku politik internasional. Namun, teori yang disampaikan oleh Waltz memiliki tendensi yang sangat berlebihan yang hendak melepaskan konteks pada saat penelitiannya dilangsungkan dengan harapan dapat menemukan sebuah fakta yang objektif dan bebas nilai sehingga tampak seperti given. Permasalah ini akhirnya menimbulkan banyak pertanyaan yang akhirnya menimbulkan keraguan atas validitas teori-teori sosial empiris dalam HI dan keabsahan sang peneliti untuk menyatakan evidensinya. Keraguan-keraguan tersebut mendorong munculnya teori-teori post-positivisme.
Teori post-positivisme antara lain adalah konstruktivisme, kritis, dan post-modernisme. Kaum post-modernisme memberikan kritik terhadap positivis yang mengilmiahkan ilmu sosial, yaitu Hubungan Internasional. Ada semacam suatu sifat dasar yang dimiliki kaum post-modernis, yaitu menentang segala sesuatu yang mainstream, terutama penentangan terhadap tradisi serta disiplin-disiplin dalam Hubungan Internasional, serta selalu mencari dan memandang segala hal melalui sudut yang teralienasikan. Dengan demikian, ia memposisikan dirinya berada di luar yang biasanya (modern). Kaum post-modernis cenderung untuk selalu mempertanyakan, mengkritik, dan mencoba mengkonsepsualisasikan adanya realitas dalam Hubungan Internasional.
Kaum post-modernis berupaya membuat kaum positivis sadar akan penjara konseptual yang merupakan modernitas itu sendiri dan pemikiran menyeluruh bahwa modernisasi menyebabkan kemajuan untuk kehidupan yang lebih baik bagi semuanya. Teoritisi post-modern, misalnya Richard Ashley, menganggap bahwa dengan meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan manusia dalam hal penguasaan bukan hanya berdasarkan atas dunia alam tetapi juga dunia sosial, termasuk sistem internasional. Meskipun demikian, postmodernisme ini pada hakekatnya juga bagian dari modernisme. Ia bukanlah gerakan pemikiran independen yang seratus persen terlepas dari modernisme. Menurut Lyotard, kata ’post’ dalam ’postmodernisme’ tidak bermakna ’telah’ atau ’paska’ modernisme. Dia juga menjelaskan bahwa postmodernisme adalah ketidakpercayaan terhadap metanaratif (Lyotard, dalam Jackson & Sorensen 2009:303).
Kaum postmodernisme adalah kaum dekonstruktif, maksudnya dalam teorinya selalu ada perubahan atau konstruksi ulang oleh seorang teoritisi. Dengan demikian, teori yang sudah mereka buat akan selalu terkontaminasi lagi oleh pendirian dan praduga mereka. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk membongkar dan menunjukkan elemen-elemen yang berubah-ubah dan tujuan-tujuannya yang bias. Pada intinya, teori postmodernisme merupakan teori yang menyatakan bahwa hanya sedikit elemen informasi tentang negara berdaulat dalam sistem internasional yang anarkis yang dapat menceritakan kebanyakan dari sesuatu yang besar dan penting yang ingin diketahui tentang Hubungan Internasional.
Kritik post-postitivis terhadap positivis hendaknya bukan menjadi sebuah batu sandungan untuk membedakan kedua paradigma tersebut. Sebaliknya, post-positiv bisa dijadikan sebagai pelengkap. Teori positivis melingkupi realisme, neorealis, neoliberalis, dan liberalisme. Terbentuknya teori-teori tersebut pun tidak terlepas dari peran teori post-positivis dalam segi epistemologis.
Referensi:
Mill, John Stuart (1866) Auguste Comte and Positivism, Trubner.
Jackson, R. & Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxfor University Press
Hadi, S. (2008). Third Debate dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Internasional, Jalasutra.
Burchiil, S. & Linklater, A. (2009) Teori-teori Hubungan Internasional, Nusamedia.
SUMBER :
http://fikriffhier-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-67488 Pengantar%20Hubungan%20internasional%20SOH101Great%20Debbate:%20Positivisme%20vs%20Postmodernism.html

1 komentar: