Hubungan Internasional terus mengalami banyak
perkembangan sejak berdirinya hingga saat ini. Hal tersebut tidak lain
dipengaruhi oleh Great Debates dalam meramaikan disiplin ilmu ini.
Berbagai perspektif bermunculan mempertahankan ideologi masing-masing.
Perspektif tersebut berkembang dan mendasar pada pemikiran masing-masing
keyakinan.
Great Debate keempat atau yang terjadi
antara perspektif positivisme dan post-positivisme merupakan salah satu contoh
perdebatan antara perspektif yang telah matang dengan perspektif alternatif. Great
Debate keempat, atau yang sekarang ini sedang terjadi, adalah adanya
pemikiran-pemikiran baru mengenai keadaan global pasca Perang Dingin. Banyaknya
isu baru seperti gender, penghapusan ras, dan lain-lain dinilai tidak dapat
dijelaskan oleh metode-metode yang telah ada sebelumnya. Great Debate
keempat ini mencoba menunjukkan arah disiplin ilmu Hubungan Internasional yang
lebih sesuai dengan Hubungan Internasional pada zaman sekarang dengan tidak
hanya sekadar berkutat pada politik, militer, dan ekonomi sebagai bahasannya
(Jackson & Sorensen 1999:80).
Positivisme adalah cara pandang dalam memahami
dunia dengan berdasarkan sains. Paham positivisme muncul pada abad ke-19. Paham
ini membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif. Tokoh-tokohnya
adalah Auguste Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert
Spencer (1820-1903). Metodologi positivis dalam ilmu politik, termasuk HI,
adalah warisan dari behavioralisme, dalam artian sebagian besar asumsi dari
behavioralisme dijalankan pula oleh positivisme. Metodologi positivisme yakin
bahwa observasi dan pengalaman adalah kunci untuk membangun dan menilai
teori-teori ilmiah. Sesuai dengan pendapat pakar positivis, Auguste Comte,
bahwa metodologi positivis berasal dari tiga hal dimana yang dianggap berperan
penting dalam perkembangan sejarah perkembangan sosial. Tiga hal tersebut
adalah teologi, metafisik, dan positivis. Di sinilah kata positivis muncul dan
akan berkembang menjadi teori studi Hubungan Internasional yang lebih mendalam.
Positivisme mempunyai hasrat untuk menyatukan
beragam pengetahuan ke dalam suatu unified of science seperti
pemikiran ala Barat. Munculnya kaum behavioralis merupakan ciri gerakan
positivisme. Kaum behavioralis mendorong Hubungan Internasional ke arah
terciptanya teori yang bersiaft eksplanatori dan prediktif atau dengan kata
lain Hubungan Internasional harus bisa menjelaskan dan mampu memprediksi.
Menurut Waltz (1973), teori Hubungan Internasional haruslah teori empiris,
sebab ia nantinya akan dapat memprediksi perilaku politik internasional. Namun,
teori yang disampaikan oleh Waltz memiliki tendensi yang sangat berlebihan yang
hendak melepaskan konteks pada saat penelitiannya dilangsungkan dengan harapan
dapat menemukan sebuah fakta yang objektif dan bebas nilai sehingga tampak
seperti given. Permasalah ini akhirnya menimbulkan banyak pertanyaan
yang akhirnya menimbulkan keraguan atas validitas teori-teori sosial empiris
dalam HI dan keabsahan sang peneliti untuk menyatakan evidensinya.
Keraguan-keraguan tersebut mendorong munculnya teori-teori post-positivisme.
Teori post-positivisme antara lain adalah
konstruktivisme, kritis, dan post-modernisme. Kaum post-modernisme memberikan
kritik terhadap positivis yang mengilmiahkan ilmu sosial, yaitu Hubungan
Internasional. Ada semacam suatu sifat dasar yang dimiliki kaum post-modernis,
yaitu menentang segala sesuatu yang mainstream, terutama penentangan
terhadap tradisi serta disiplin-disiplin dalam Hubungan Internasional, serta
selalu mencari dan memandang segala hal melalui sudut yang teralienasikan.
Dengan demikian, ia memposisikan dirinya berada di luar yang biasanya (modern).
Kaum post-modernis cenderung untuk selalu mempertanyakan, mengkritik, dan mencoba
mengkonsepsualisasikan adanya realitas dalam Hubungan Internasional.
Kaum post-modernis berupaya membuat kaum
positivis sadar akan penjara konseptual yang merupakan modernitas itu sendiri
dan pemikiran menyeluruh bahwa modernisasi menyebabkan kemajuan untuk kehidupan
yang lebih baik bagi semuanya. Teoritisi post-modern, misalnya Richard Ashley,
menganggap bahwa dengan meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan manusia dalam
hal penguasaan bukan hanya berdasarkan atas dunia alam tetapi juga dunia
sosial, termasuk sistem internasional. Meskipun demikian, postmodernisme ini
pada hakekatnya juga bagian dari modernisme. Ia bukanlah gerakan pemikiran
independen yang seratus persen terlepas dari modernisme. Menurut Lyotard, kata
’post’ dalam ’postmodernisme’ tidak bermakna ’telah’ atau ’paska’ modernisme.
Dia juga menjelaskan bahwa postmodernisme adalah ketidakpercayaan terhadap
metanaratif (Lyotard, dalam Jackson & Sorensen 2009:303).
Kaum postmodernisme adalah kaum dekonstruktif,
maksudnya dalam teorinya selalu ada perubahan atau konstruksi ulang oleh
seorang teoritisi. Dengan demikian, teori yang sudah mereka buat akan selalu
terkontaminasi lagi oleh pendirian dan praduga mereka. Tujuan dari hal tersebut
adalah untuk membongkar dan menunjukkan elemen-elemen yang berubah-ubah dan
tujuan-tujuannya yang bias. Pada intinya, teori postmodernisme merupakan teori
yang menyatakan bahwa hanya sedikit elemen informasi tentang negara berdaulat
dalam sistem internasional yang anarkis yang dapat menceritakan kebanyakan dari
sesuatu yang besar dan penting yang ingin diketahui tentang Hubungan
Internasional.
Kritik post-postitivis terhadap positivis
hendaknya bukan menjadi sebuah batu sandungan untuk membedakan kedua paradigma
tersebut. Sebaliknya, post-positiv bisa dijadikan sebagai pelengkap. Teori
positivis melingkupi realisme, neorealis, neoliberalis, dan liberalisme.
Terbentuknya teori-teori tersebut pun tidak terlepas dari peran teori
post-positivis dalam segi epistemologis.
Referensi:Mill, John Stuart (1866) Auguste Comte and Positivism, Trubner.
Jackson, R. & Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxfor University Press
Hadi, S. (2008). Third Debate dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Internasional, Jalasutra.
Burchiil, S. & Linklater, A. (2009) Teori-teori Hubungan Internasional, Nusamedia.
SUMBER :
http://fikriffhier-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-67488
Pengantar%20Hubungan%20internasional%20SOH101Great%20Debbate:%20Positivisme%20vs%20Postmodernism.html
Terimakasih atas ilmunya.
BalasHapusSangat membantu sekali