Jumat, 03 Mei 2013

peace studies

Violence Peach  and Peach Research
by Frederikus Kutanggas
Kekerasan struktural yang menjadi dasar bagi teori Johan Galtung mengenai perdamaian positif juga sangat Gandhian. Galtung mencoba menggabungkan analisis yang berorientasi aktor dengan analisis yang berorientasi struktur (Windhu, 1992: xxii‑xxiii). Antara aktor dan struktur harus ada interaksi yang seimbang (Windhu, 1992: 29). Menurut Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya (Windhu, 1992: 64). Kekerasan di sini didefinisikan sebagai penyebab perbedaan antara yang potensial dan yang aktual. Di satu pihak manusia mempunyai potensi yang masih ada di "dalam", dan di lain pihak, potensi menuntut untuk diaktualkan yaitu dengan mereali-sasikan dan memperkembangkan diri dan dunianya dengan nilai‑nilai yang dipegangnya. Pengertian "actus" di sini mencakup kegiatan, aktivitas yang tidak tampak (seperti berfikir, berme­nung, serta kegiatan mental atau psikologis lainnya) serta kegiatan, tindakan, aktivitas yang dapat diamati/tampak. Inilah kiranya yang menjadi titik tolak dalam memahami kekerasan sebagai penyebab perbedaan antara yang aktual dan yang potensia. Pengan­daian dasarnya ialah apa yang bisa atau mungkin diaktuali-sasikan, harus direalisasikan (Win-dhu, 1992: 66). Walaupun pada kenyataannya tidak semua potensia kemudian berkembang menjadi actus. Pemahaman Galtung tentang kekerasan lebih ditentukan pada segi akibat atau pengaruhnya pada manusia. Galtung tidak membeda-kan violent acts (tindakan‑tindakan yang keras, keras sebagai sifat) dengan acts of violence (tindakan‑ tindakan kekerasan) (Windhu, 1992: 65).
          Galtung juga menguraikan enam dimensi penting dari kekerasan yaitu:
1.   Kekerasan fisik dan psikologis. Dalam kekerasan fisik tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuh-an. Sedangkan kekerasan psiko-logis adalah tekanan yang di-maksudkan meredusir kemam-puan mental atau otak.contohnya kebohongan,cuci otak,indrokinasi,dan berbagai ancaman lainya.
2.   Pengaruh positif dan negatif. Sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang sebenarnya terdapat "pengendalian", tidak bebas, kurang terbuka, cenderung ma-nipulatif, meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria.
3.   Ada objek atau tidak. Dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan fisis dan psikologis, meskipun tidak memakan korban tetapi memba-tasi tindakan manusia.
4.   Ada subjek atau tidak. Kekerasan disebut langsung atau person­al jika ada pelakunya, dan bila tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak langsung. Kekerasan tidak langsung sudah menjadi bagian struktur itu (strukturnya jelek) dan menampak­kan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebab­kan peluang hidup tidak sama.
5.   Disengaja atau tidak. Bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan, pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup untuk melihat, mengatasi kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan tidak disengaja. Dari sudut korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan.
6.   Yang tampak dan tersembunyi. Kekerasan yang tampak, nyata (manifest), baik yang personal maupun struktural, dapat dili­hat meski secara tidak langsung. Sedangkan kekerasan tersem­bunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan (latent), tetapi bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi akan terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual dapat menurun dengan mudah. Kekerasan tersembunyi yang struktural terjadi jika suatu struktur egali­ter dapat dengan mudah diubah menjadi feodal, atau revolusi hasil dukungan militer yang hirarkis dapat berubah lagi menja­di struktur hirarkis setelah tantangan utama terlewati (Windhu, 1992: 68‑72).
          Galtung juga membedakan kekerasan personal dan struktural. Sifat kekerasan personal adalah dinamis, mudah diamati, memperli­hatkan fluktuasi yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan struktural sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu dan tidak tampak. Dalam masyarakat statis, kekerasan personal akan diperhati-kan, sementara kekerasan struk­tural dianggap wajar. Namun dalam suatu masyarakat yang dinamis, kekerasan personal bisa dilihat sebagai hal yang berbahaya dan salah, sementara kekerasan struktural semakin nyata menam-pilkan diri (Windhu, 1992: 73).
          Kekerasan personal bertitik berat pada "realisasi jasmani aktual". Ada tiga pendekatan untuk melihat kekerasan personal yaitu cara‑cara yang digunakan (menggu-nakan badan manusia atau senjata), bentuk organisasi (indivi-du, massa atau pasukan), dan sasaran (manusia). Kekerasan personal dapat dibedakan dari susunan anatomis (secara struktural) dan secara fungsional (fisiolo­gis). Pembedaan antara yang anatomis dan fisiologis terletak pada kenyataan bahwa yang pertama sebagai usaha menghan-curkan mesin manusia sendiri (badan), yang kedua untuk mencegah supaya mesin itu tidak berfungsi (Windhu, 1992: 74).
          Mekanisme kekerasan struk-tural dalam bentuk enam faktor yang mendukung pembagian tidak egaliter meliputi urutan kedudukan linear, pola interaksi yang tidak siklis, korelasi antara kedudukan dan sentralitas, persesuaian antar sistem, keselarasan antar kedu-dukan, dan perangkapan yang tinggi antar tingkat. Sistem sosial akan cenderung mengembangkan keenam mekanisme ini yang pada akhirnya memperbesar ketidak-samaan. Dalam beberapa struktur ketidaksamaan terjadi begitu rupa sehingga pelaku yang berkedu-dukan paling rendah tidak hanya relatif terhalangi dimensi potensial-nya, tetapi juga sungguh‑sungguh berada di bawah batas minimum subsistensinya. Struktur tidak memungkinkan mereka mem­bangun kekuatan, mengorganisir dan mewujudkan kekuasaannya berha­dapan dengan "pihak yang kuat". Mereka terpecah belah, kurang integrasi dan kurang mempunyai kekuasaan atas diri sendiri, otonomi yang cukup untuk menghadapi pihak yang kuat. Jadi kekerasan personal maupun struktural membahayakan jasmani, tetapi kekerasan struktural lebih sering dilihat sebagai kekerasan psikologis. Perbedaannya hanya dalam cara tetapi akibatnya mem­perlihatkan hasil yang serupa (Windhu, 1992: 75).
          Perbedaan kekerasan perso-nal dan kekerasan struktural tidak tajam. Keduanya bisa mempunyai hubungan kausal dan mungkin pula hubungan dialektis. Pembeda-an antara kekerasan personal dan kekerasan struktural berarti mela-laikan unsur struktural dalam kekerasan personal dan unsur personal dalam kekerasan struk-tural.
          Walaupun kekerasan sudah menjadi satu dengan struktur, namun ada saja orang yang tampaknya menjadi beringas dalam hampir semua kejadian. Ini berarti mereka menampakkan kecende-rungan kerasnya di luar konteks struktural yang masih bisa diterima masyarakat luas (Windhu, 1992: 76).
          Menurut Galtung satu jenis kekerasan tidak mengandaikan kehadiran nyata jenis kekerasan lainnya. Namun, juga diakui bahwa kemungkinan kekerasan struktural nyata mengandaikan kekerasan personal tersembunyi. Misalnya, jika struktur terancam, mereka yang mendapat keuntungan dari kekerasan struktural, terutama mereka yang berada pada posisi puncak akan berusaha memperta-han­kan status quo untuk melindungi kepentingan‑ kepenti-ngannya. Mereka ini bisa saja tidak tampil terang‑terangan untuk membela struktur, tetapi dengan menggunakan "alat" (polisi, tentara bayaran) untuk memerangi sumber‑ sumber kekacauan, sementara mereka sendiri tetap tinggal jauh terasing dan terpencil dari pergolakan kekerasan personal (Windhu, 1992: 77).