beberapa waktu lalu tepatnya (4 Juli), rakyat Amerika Serikat (AS) memperingati 229 tahun kemerdekaan negerinya. Independence Day yang keempat pascaserangan 9/11 September 2001 dan yang kelima selama pemerintahan Bush. Suatu peringatan kelahiran di tengah masa perang karena Donald Rumsfeld menyatakan AS sekarang dalam kondisi perang (Department of Defense, The National Defense Strategy of the USA, Maret 2005). Suatu peringatan pada saat kebencian terhadap AS di seluruh dunia, terutama di negeri-negeri Muslim, semakin besar dan terakumulasi dalam permusuhan-permusuhan nyata (shocking level) (Ivan Eland, Can America Spin Away Anti-U.S. Hatred in Islamic Countries?, Antiwar.com, 15/10/2003)
Dibandingkan era-era tahun sebelumnya (pasca Perang Dunia II), terjadi perubahan yang mendasar dalam pemerintahan AS, terutama kebijakan luar negeri. Di era 50-an hingga 90-an, komunis menjadi musuh utama AS. Sebagai akibatnya, AS harus bertempur di beberapa front: Perang Korea (1950-1953), Invansi Teluk Babi Kuba (1961), Krisis Rudal Soviet di Kuba (Oktober 1962), Perang Vietnam (1968-1975, dan Invasi Grenada (1983). Di samping, itu, AS harus memberikan bantuan kepada “our local friend“: Mujahidin di Afghanistan (1979-1997), Jenderal Pinochet yang mengkudeta presiden Chili berhaluan kiri, Salvador Allende (1973), rezim Jenderal Jorge Rafael Videla yang bertahan dari upaya kudeta oposisi kiri Argentina dalam “Dirty War” (1976-1983), pemberontak UNITA dan FNLA melawan rezim Marxis Angola (pertengahan 70-an hingga akhir 2002), monarki Nepal melawan kaum Maoist (1994), gerilyawan Kontra di Nikaragua (1983-1988), dan rezim-rezim kawasan segitiga Amerika Latin: El Salvador, Guetemala, dan Honduras.
Memasuki milenium baru, terjadi tranformasi paradigma kebijakan luar negeri AS; anti terorisme-sentris menggeser anti komunisme-sentris. Komunisme bukan lagi menjadi momok yang menakutkan. Uni Soviet telah lama hancur di tahun 1991. Beberapa negara eks komunis di Eropa Timur sudah menjadi anggota NATO (Hongaria, Polandia, dan Republik Czech). Beberapa negara eks komunis lainnya diperkirakan segera menyusul. Di Asia Tengah, negara eks komunis malah menjadi sekutu terdekat AS dalam “global war on terrorism” (GWOT), seperti Ukraina, Uzbekistan, dan Kyrgystan.
China memang masih komunis, tetapi bukan itu yang ditakutkan. Analisis futuristik (tahun 2020) yang dikeluarkan CIA memprediksikan China (bersama India) akan menjadi kekuatan utama masa depan (new major global player) yang mampu menandingi kekuatan AS (National Intellegence Council, Mapping the Global Future, cia.gov, Desember 2004). Bukan karena ideologi komunis Mao, melainkan karena China memiliki apa yang disebut sebagai 4 faktor penyokong global power (kekuatan dunia): produk domestik bruto (PDB), populasi, anggaran pertahanan, dan inovasi teknologi (Gregory F. Treverton dan Seth G Jones, Measuring National Power, rand.org). Populasi China mencapai 1,299 miliar jiwa (CIA The World Fact Book 2005, cia.gov, 10/02/2005). Produk domestik bruto China mencapai 6,436 miliar dolar (2004) dan diperkirakan akan menjadi 25,155 miliar dolar di tahun 2025, sementara China pada 2004 telah mengeluarkan 65,2 miliar dolar untuk memperkuat pertahanannya (Newsweek, Februari 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar