Senin, 25 Maret 2013

GREAT DEBATE

Fenomena-fenomena Hubungan Internasional yang sangat beragam dan dinamis telah memunculkan gagasan-gagasan yang berasal dari sudut pandang yang berbeda dari para pemikir Hubungan Internasional. Perdebatan dalam Hubungan Internasional pada hakikatnya perdebatan mengenai apa, mengapa dan bagaimana gagasan mengenai fenomena Hubungan Internasional yang telah terjadi, sedang terjadi, atau akan terjadi di masa depan.

Sejarah Pemikiran
Menurut ilmu sejarah, tulisan mengenai HI dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu yang ditulis sebelum Perang Dunia I dan yang ditulis setelahnya. Golongan pertama disebut warisan klasik dalam HI dan mencakup berbagai studi tentang teori politik, hukum, sejarah, dan diplomasi. Golongan yang kedua adalah karya-karya yang dihasilkan melalui pengajaran dan penelitian setelah HI menjadi kajian di universitas setelah tahun 1918.  Perkembangan HI sebagai studi akademis melewati tiga tahapan, yaitu tahap tradisional, behavioural, dan post-behavioural. Pada setiap tingkatan tersebut, terjadi perdebatan mengenai teori general HI, dan perdebatan antarparadigma menempati urutan ketiga. Perdebatan yang pertama adalah perdebatan antara idealisme dan realisme (1918-1950) dan yang kedua adalah perdebatan antara behavioural dan tradisional (1950). Sejak tahun 1970, tahap post-behavioural berkembang menjadi perdebatan segitiga atau perdebatan antarparadigma yang terfokus pada asumsi mengenai dunia yang state-centric. Pada tahun 1980, realisme dihadapkan pada tantangan dari pluralisme dan strukturalisme.

Perbandingan Antarparadigma

Realisme
Pluralisme
Strukturalisme
Model masyarakat dunia
Billiard ball
Cob web
Octopus
Aktor
Negara (aktor utama dan yang terpenting)
Banyak aktor, termasuk aktor nonnegara
Kelas
Dinamika
Force sebagai alat utama
Gerakan sosial yang kompleks
Ekonomi
Variabel dependen
Tujuan HI hanyalah menjelaskan tindakan negara-negara
Menjelaskan peristiwa-peristiwa besar dunia
Menjelaskan perbedaan yang kontras antara negara kaya dan miskin.

Sebelum Perang Dunia I atau sebelum tahun 1919, tidak ada sistematika mengenai hubungan internasional, meskipun sebagai fenomena, hubungan internasional telah ada selama beribu-ribu tahun yang lalu. Baru setelah berakhirnya Perang Dunia I (1919), HI muncul sebagai sebuah  kajian yang terpisah dari ilmu politik. Jadi, perdebatan dalam HI sebagai sebuah disiplin ilmu dimulai pada interwar period (masa di antara dua perang besar, yaitu Perang Dunia I dan II).
Martin Wight (1982) mengatakan bahwa Ilmu Politik ada untuk digunakan sebagai alat peramalan/perkiraan mengenai negara, sedangkan ilmu HI untuk memprediksika masyarakat suatu negara. Kata yang diberi tekanan di sini adalah peramalan, yang berarti tidak pasti. Wight membagi perkembangan studi HI menjadi tiga fase, yaitu:
Hedley Bull membagi perkembangan HI secara lebih spesifik, yaitu sebagai berikut:
Idealisme dan realisme merupakan perspektif, sedangkan behaviouralisme merupakan pendekatan metodologis. Perspektif idealisme dan realisme sering disebut juga dengan conservative theory.
Berikut merupakan bagan perdebatan besar pertama dan kedua di dalam HI:
                            
                                     


Perdebatan Besar I :Idealisme vs. Realisme
Realisme memandang manusia sebagai makhluk yang terikat oleh pemikiran mereka masing-masing, tidak ingin dimanfaatkan, serta selalu berusaha untuk menjadi pengendali hubungan yang mereka jalin dengan sesamanya. Dari beberapa pernyataan mengenai manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa realisme menganggap manusia selalu ingin mengatur kahidupannya sendiri tanpa ada campur tangan atau dominasi pihak-pihak luar terhadap dirinya, serta  selalu ingin mendapat keuntungan yang berasal dari pihak-pihak lain atau secara eksplisit dapat dikatakan bahwa manusia cenderung untuk mendominasi tetapi tidak ingin didominasi.
Menurut para tokoh realisme klasik, kegiatan politik hanya terfokus pada power, dalam hal ini, power berperan sebagai alat pencapaian tujuan, power sebagai tujuan, serta penggunaan power. Tokoh-tokoh realis klasik yang mengemukakan hal ini antara lain adalah Thucydides, Machiavelli, dan Thomas Hobbes.

Thomas Hobbes

Hobbes memfokuskan perhatiannya pada politik domestik dan bertujuan untuk mendapatkan otoritas yang kuat secara politik serta terpusat, hal ini disebabkan oleh latar belakang yang dimiliki Hobbes sebagai politikus. Menurut pandangan Hobbes, setiap negara harus sekuat monster laut (leviathan) karena disitulah tempat orang-orang melimpahkan kekuasaan mereka, sehingga negara dan pemerintahan dibentuk untuk mengatur orang-orang dalam dari sifat alami manusia yang cenderung untuk melindungi diri mereka sendiri.

Machiavelli

Machiavelli mengemukakan pendapatnya mengenai kriteria yang harus dimiliki oleh para pemimpin negara dalam menentukan kebijakan luar negeri. Seorang pemimpin negara harus memiliki power seperti singa serta kelicikan seekor rubah, dengan kekuatan yang dimiliki oleh seekor singa, seorang pemimpin negara dapat mempertahankan atau menyerang negara yang lemah untuk memperluas kekuasaan, hal tersebut ditunjang dengan kelicikan seekor rubah yang biasanya diaplikasikan dalam kegiatan mata-mata serta konspirasi. Yang membedakan Machiavelli dari tokoh-tokoh realis lainnya adalah penekanannya pada kemerdekaan sebagai sesuatu hal yang penting dalam politik. Meskipun demikian, pada dasarnya para tokoh realis memiliki pandangan yang sama, yaitu power, national security, serta state survival. Machiavelli memandang power sebagai faktor yang penting untuk dikembangkan demi tercapainya keamanan. Selain itu, para pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mengumpulkan kekuasaan yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan pribadi serta kelangsungan hidup negara dan rakyatnya. Machiavelli menekankan pemikirannya pada national security. Dalam beberapa karya yang telah ditulisnya, Machiavelli mengemukakan konsep-konsep seperti balance of power, persekutuan, dan center alliance, Machiavelli juga menyatakan pandangannya mengenai penyebab terjadinya konflik yang terjadi di antara bangsa-bangsa.

Thucydides

Dalam karyanya’ The Peloponnesian War’, dalam buku ini dibahas mengenai perang Athena dan Sparta yang didalamnya terdapat kisah-kisah kepahlawanan, kekejaman, kekalahan dan kemenangan, serta hal-hal lainnya yang umumnya terjadi di setiap peperangan. Tujuan ditulisnya buku ini adalah untuk menggambarkan sifat alami dari peperangan (the nature of war) serta faktor-faktor yang menyebabkan hal itu terus-menerus terjadi, dia berpendapat bahwa perang terjadi karena adanya ketakutan dalam perubahan balance of power. Selain itu, dalam situasi politik dunia yang anarki, peperangan menjadi sesuatu hal yang tidak dapat terhindarkan. Thucydides mengemukakan pandangannya yang berkaitan dengan power politcs dimana negara yang lemah akan lebih mudah untuk diserang dan dipengaruhi. Sehingga, setiap negara diharuskan untuk memperkuat pertahanannya dan untuk membuat perdamaian itu sendiri tetap berjalan, setiap negara harus mempunyai kekuatan yang seimbang. Thucydides menyumbangkan beberapa konsep seperti persaingan senjata, balance of power, detterence, alliance, diplomasi strategi, serta beberapa persepsi mengenai kekuatan dan kelemahan, pada akhirnya, konsep-konsep tersebut diadaptasi oleh realisme.
Idealisme
Idealisme percaya bahwa ketertiban internasional tidak dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan harus dikonstruksi. Salah satu tokoh idealisme adalah J. A. Hobson. Ia berargumen bahwa sumber dari konflik internasional adalah imperialisme. Woodrow Wilson adalah tokoh paling terkenal yang menyarankan kewenangan internasional untuk mengelola hubungan internasional.  Menurutnya, perdamaian hanya dapat diwujudkan dan dipertahankan melalui pembentukan institusi internasional untuk mengatur anarki internasional.
Perwujudan dari kewenangan internasional yang disarankan oleh Woodrow Wilson dalam pidatonya, fourteen points speech, adalah pembentukan Liga Bangsa-Bangsa. Hal pokok dari sistem Liga Bangsa-Bangsa adalah collective security, yaitu suatu pengaturan di mana setiap negara dalam sistem menganggap isu keamanan sebagai permasalahan bersama dan setuju untuk melakukan tanggapan kolektif terhadap agresi (Roberts and Kingsburry, 1993:30). Hal ini dapat dibandingkan dengan sistem aliansi di mana sejumlah negara bergabung, biasanya sebagai tanggapan terhadap ancaman eksternal yang bersifat spesifik (dikenal juga dengan sebutan pertahanan kolektif). Fokus lain dari idealisme adalah pendidikan. Studi Hubungan Internasional didirikan pada tahin 1919 untuk pertama kali di Aberystwyth dengan tujuan utama untuk mencegah terjadinya perang.
Idealisme merupakan pendekatan normatif terhadap hubungan internasional, yaitu, kepercayaan bahwa studi Hubungan Internasional haruslah berdasarkan apa yang seharusnya, bukan apa yang sesungguhnya terjadi. Hal ini merupakan pembeda antara idealisme dan liberal institusionalisme.

Perdebatan Besar
Perdebatan besar pertama dalam ilmu Hubungan Internasional muncul diantara perbedaan pemikiran kaum realis dan idealis mengenai subtansi dari Hubungan Internasional. Setelah LBB dianggap gagal dalam mewujudkan perdamaiaan, kegagalan, setelah lembaga itu gagal mencegah Jepang untuk menyerang Manchuria, Italia dalam menguasai Etiopia, dan Rusia ketika mencoba untuk mendominasi Finlandia. Puncak dari kegagalan itu adalah ketika Jerman menyerang Polandia pada tahun 1939, yang kemudian mengawali Perang Dunia II maka muncul satu buku yang controversial dan merupakan satu pemikiran yang menentang pemikiran idealisme yaitu buku yang berjudul The Twenty Years’Crisis oleh E. H. Carr. Setelah itu muncul pemikir lainnyayang mengemukakan ide-ide yang bertentangan dengan idealisme yaitu Hans J.Morgenthau dengan bukunya yang berjudul Politics among Nations: A Struggle for Power and Peace.
Perang Dunia II yang tidak bisa dicegah telah mematahkan asumsi pertama kaum idealis, yaitu prinsip self-determination yang berarti setiap negara berhak untuk menentukan nasibnya sendiri, dan  dengan demikian berhak atas kemerdekaan. Kaum idealis menganggap terjadinya perang dikarenakan negara melaksanakan secret agreement atau secret diplomacy tanpa sepengetahuan rakyatnya. Oleh karena itu, kaum idealis mendorong terciptanya public participation (partisipasi pubik) dalam kebijakan luar negeri atau foreign policy.
Ide-ide realis lebih sederhana dan mencerminkan kehidupan sehari-hari manusia, dan oleh karenanya lebih populer. Machiavelli menganalogikan sifat manusia dan negara (yang terdiri dari manusia) dengan binatang, yaitu fox (kelicikan) dan lion (power). Tokoh-tokoh realis antara lain E.H. Carr, Niehbur, dan G. F. Kennan. Kennan adalah seorang diplomat yang mengemukakan kebijakan pembendungan atau containment policy, terkenal dengan kalimat, ‘Siapakah Mr. X?’.
Menurut realisme aktor tunggal yang sangat penting berperan adalah semua negara, selalu dan selamanya, mengejar power atau bersifat power seeking dan hubungan internasional adalah ajang dari struggle of power. Negara yang bersifat power seeking diwujudkan dalam upaya peningkatan kapabilitas (memperkuat kekuatan bersenjata/militer), dan jika suatu negara tidak cukup mampu untuk melakukan hal ini, maka negara tersebut akan membentuk aliansi. Hal ini kemudian memunculkan konsep atau teori balance of power. Menurut kaum realis, negara yang tidak memiliki kekuatan bersenjata justru akan mengundang perang karena negara yang memiliki kekuatan akan mencoba untuk menguasainya. Hal ini tercermin di dalam Melian Dialogue antara negara kota Melos, yang kekuatan bersenjatanya sangat lemah, dan Athena yang memiliki power yang jauh lebih besar, di mana Athena memberikan dua opsi, yaitu tunduk secara suka rela atau dimusnahkan. 
Organisasi internasional menurut para idealis adalah satu actor yang sangat penting dan bisa menjembatani negara-negara untuk melakukan dan menciptakan perdamaiaan atau menurut Wilson, organisasi politik internasional, yang akan berfungsi sebagai wadah untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan di antara negara-negara dan menyelesaikannya (dispute settlement). Negara akan menyerahkan sebagian kedaulatannya pada organisasi internasional dan organisasi internasional akan menjadi wadah bagi collective security. Asumsi lain dari kaum idealis adalah perlu dibentuknya sebuah pemerintahan dunia atau world government yang mengatur negara-negara di dunia dan menyelesaikan perselisihan-perselisihannya.
Hakikat perdebatan besar pertama yaitu antara idealisme dan realisme berkisar pada cara untuk menyelesaikan peperangan atau untuk menciptakan perdamaian. Kaum idealis berpendapat bahwa perdamaian dapat diciptakan melalui prinsip collective security di mana organisasi internasional menjadi representative of security. Kaum idealis menyarankan agar negara mengurangi tingkat persenjataannya hingga level yang paling rendah dan menyandarkan keamanannya pada collective security. Collective security adalah prinsip di mana ketika suatu negara diserang oleh negara lain, negara-negara lain yang tergabung dalam organisasi internasional akan membantu negara yang diserang tersebut.
Manusia (dan negara) menurut kaum realis adalah satu mahluk yang selalu rakus adalah selalu ingin menguasai dan selalu berusaha meningkatkan kekuasaannya. Hal ini berlaku untuk semua negara.
Asumsi lainnya adalah negara bersifat rasional atau bertindak berdasarkan cost-benefit. Tidak akan ada negara yang bersedia berkorban demi negara lain. Oleh karena itu, untuk mencegah perang, perlu diciptakan balance of power yang prinsipnya adalah menakut-nakuti negara agar tidak menyerang negara lain karena kekuatannya seimbang. Perdebatan lain antara kaum realis dan idealis berkisar pada motivasi negara dalam sistem internasional. Kaum idealis berpendapat bahwa negara-negara cenderung mengadakan kerja sama (cooperation) sedangkan kaum realis berpendapat bahwa negara-negara mengejar power demi keuntungan mereka.
Asumsi kaum realis dapat dirangkum dalam tiga S, yaitu statism, di mana negara menjadi hal sentral dalam hubungan internasional, self-help, yang berarti negara harus dapat mempertahankan dan mengurusi dirinya sendiri di dalam sistem internasional yang anarkis, dan survival, yaitu negara selalu berjuan untuk mempertahankan keutuhan dan kebulatan negaranya, terutama dalam hal wilayah. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah eksistensi idealisme sebagai school of thought. Menurut Peter Wilson, idealisme sebagai sebuah paradigma adalah sebuah mitos, dan oleh karenanya perdebatan besar pertama ini merupakan sebuah mitos. Menurutnya, idealisme adalah sekumpulan pemikiran dan prinsip yang berkembang setelah Perang Dunia I terutama untuk mencegah terjadinya perang, dan kemudian diberi label ‘idealisme’ atau ‘utopianisme’ karena dianggap tidak realistis. Yang memberi nama kepada sekumpulan gagasan ini adalah kaum realis yang mengklaim diri mereka realistis dan memandang dunia sebagaimana keadaan yang sebenarnya (yang memberi nama utopianisme adalah E. H. Carr).
Berikut perbandingan idealisme dan realisme:
Realisme
intinya:
Idealisme
Intinya :

Perdebatan II : Tradisional / Klasik vs. Scientific (behavioralisme dan Pasca-Behavioralisme)
Perdebatan besar kedua merupakan perdebatan mengenai metodologi. Perdebatan ini berlangsung antara kaum tradisional dan kaum behaviouralis. Dan berbeda dengan perdebatan pertama yang lebih focus kepada events atau fenomena, atau isu-isu substantif,
Tradisionalisme merupakan metodologi yang bersifat normatif-historis, legal-formal, filosofis, dan hasil penelitiannya bersifat subjektif. Pendekatan Tradisionalisme berasumsi bahwa fakta dan kebenaran terdapat di dalam diri manusia sendiri, dan tradisionalisme merupakan metodologi yang bersifat normatif-historis, legal-formal, filosofis.
Pendekatan klasik  dalam hubungan internasional tidak memiliki metodologi yang eksplisit, tidak merumuskan hipotesis serta mengujinya, dan tidak menggunakan`perangkat penelitian formal. Dalam pendekatan klasik, pandangan mengenai teori dibatasi oleh ruang dan waktu. Pendekatan klasik memiliki beberapa asumsi, yaitu: (1) jika kita membatasi diri dengan standar-standar verifikasi dan kuantifikasi yang ketat, maka hanya sedikit hal penting yang dapat dikatakan mengenai hubungan internasional, (2) pengetahuan mengenai hubungan internasional harus berasal dari proses ilmiah yang tidak sempurna, yang melibatkan persepsi dan intuisi, dan (3) generalisasi mengenai HI harus selalu bersifat tentatif.Sebaliknya,bagi pemikiran yang cenderung behaviouralisme bersifat empiris, mengedepankan objektivitas, dan kuantitatif serta harus melalui serangkaian metode di mana terdapat pengujian atau verifikasi secara empiris (metode ilmiah).
Bagian-bagian pokok dari pendekatan behavioural adalah :
  1. politik dipandang hanya sebagai salah satu aspek dari perilaku manusia
  2. perilaku politik harus dianalisis dalam berbagai tingkatan termasuk dalam level sosial, budaya, dan personal.
  3. manusia secara individual adalah unit dasar analisis

fokus behavioural:
Asumsi dari pendekatan Behavioralism adalah bahwa kebenaran serta fakta ada ‘di luar sana’ dan oleh karenanya dapat ditemukan.


Perbandingan antara Pendekatan Tradisional dan Behavioural                 



Behavioural:
Fokus:
Tradisional
Fokus:


 



Interparadigm Debate: Pluralisme vs. Realisme vs. Globalisme / strukturalisme
Inti dari perdebatan ini adalah mengenai aktor yang paling penting dalam hubungan internasional, yaitu antara negara dan transnational actors atau state centric dan non-state centric. Perdebatan besar ketiga ini berlangsung di antara realisme, pluralisme, dan strukturalisme/globalisme
Menurut kaum realis, aktor-aktor selain negara tidak memainkan peran yang signifikan, atau setidaknya berada di bawah negara (subordinat), sedangksan kaum pluralis menekankan pentingnya aktor-aktor transnasional, seperti individu, organisasi internasional, dan Multinational Corporations. Pertentangan lain yang terdapat di antara ketiganya yaitu mengenai dinamika dan variabel-variabel dependen. Pemikiran realisme dapat dilacak hingga tulisan Thucydides, Machiavelli, Hobbes, dan Clausewitz. Realisme menekankan keutamaan peran negara di dalam hubungan internasional dan mensubordinatkan aktor-aktor lainnya. Oleh karena itu, realisme merupakan paradigma yang bersifat state-centric. Asumsi-asumsi realisme yang lain adalah negara bersifat manunggal atau unitary dan rasional, serta menekankan power politics. Dalam dinamikanya, kaum realis menekankan power sebagai tujuan maupun instrumen untuk mencapai tujuan. Model hubungan internasional menurut kaum realis adalah model bola biliard atau billiard ball.
Pluralisme menyatakan menentang pemusatan perhatian pada negara yang dilakukan oleh kaum realis. Sebaliknya, kaum pluralis berpendapat bahwa hubungan internasional bersifat multi-centric, bukan state-centric maupun global centric. Mereka menekankan pentingnya peran aktor-aktor transnasional, terutama dalam bidang ekonomi yang ditandai dengan meningkatnya interdependensi atau saling ketergantungan di antara negara dan aktor-aktor transnasional, termasuk di dalamnya aktor-aktor di dalam negara (subnational actors). Pluralisme juga menolak asumsi realis mengenai negara yang manunggal dan rasional.
 Tindakan negara terkadang bukan merupakan representasi dari kepentingan negara secara keseluruhan, melainkan kepentingan pihak-pihak di dalam negara yang seringkali bertentangan satu sama lain. Oleh karenanya kaum pluralis menganggap bahwa kepentingan nasional adalah suatu konsep yang menyesatkan karena tidak pernah ada kebijakan atau perumusan mengenai kepentingan negara sebagai suatu keseluruhan. Negara pun terkadang melakukan tindakan-tindakan yang tidak memperhitungkan untung-rugi karena dipengaruhi oleh faktor idiosinkretik pemimpinnya.
Dalam dinamika hubungan internasional, kaum pluralis menekankan gerakan sosial yang kompleks. Model hubungan internasional menurut kaum pluralis bersifat kompleks, yaitu model jaring laba-laba (cobweb). Globalisme atau strukturalisme disebut juga World System Theory menentang asumsi state-centric maupun multi-centric dari kaum realis dan pluralis, melainkan berpendapat bahwa aktor utama dalam hubungan internasional adalah kelas. Berdasarkan pandangan ini, hubungan internasional adalah mengenai eksploitasi kelas kapitalis (negara-negara kaya yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, Dunia Utara atau Dunia Pertama) terhadap kelas proletar (negara-negara miskin di Dunia Selatan).
 Pandangan globalisme mereduksi semua permasalahan menjadi permasalahan ekonomi dan menganggap bahwa isu-isu lain, seperti keamanan dan politik hanya berada di permukaan saja. Model hubungan internasional menurut kaum Globalis adalah model gurita berkepala banyak (octopus model) di mana kepala gurita tersebut mewakili negara-negara kapitalis kaya yang menjulurkan tentakel-tentakelnya kepada negara-negara miskin dalam proses eksploitasi yang tiada akhir.
Perbandingan antara realisme, pluralisme, dan globalisme
Fokus
Realisme
Pluralisme
Globalisme
Aktor
Aktor utama adalah negara, aktor-aktor di luar negara tidak penting, negara bersifat manunggal dan rasional
Selain negara, aktor-aktor transnasional juga memainkan peranan penting dalam hubungan internasional, negara tidak manunggal, melainkan plural dan tidak selalu rasional
Aktor yang berperan adalah kelas
Isu dan dinamika
Isu yang utama adalah keamanan dan permasalahan militer-strategis (high politics)
Menekankan pentingnya isu-isu lain di luar keamanan, mencakup ekonomi dan sosial (low politics)
Semua isu bermuara pada perekonomian
Variabel dan konsep
Power, hubungan antarnegara
Gerakan sosial yang kompleks, interdependensi
Dependensi, eksploitasi negara kaya terhadap negara miskin dan jurang di antara mereka
Model hubungan antarnegara
Bilyar ball model
Cobweb model
Octopus model

 

Perdebatan Besar Keempat: Positivisme vs Postpositivisme

Secara metodologis perdebatan dalam ilmu Hubungan Internasional berlanjut dengan model pendekatan positivis dan postpositivis, yang sering juga disebut reflektivis. Positivisme merupakan metodologi yang memainkan peranan penting dalam Hubungan Internasional dan sebagian besar penelitian dalam disiplin ini dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip positivis. Metodologi positivistik dalam Hubungan Internasional merupakan warisan dari pendekatan behavioural dan menggunakan asumsi-asumsi dari behaviouralisme secara lebih mutakhir. Positivisme berpendapat bahwa dunia sosial dan politik, termasuk dunia internasional memiliki pola-pola yang berulang, yang dapat dijelaskan jika kita menerapkan metodologi yang tepat.
Menurut positivis penekanan pengamatan dan pengalaman adalah kunci untuk menyusun teori ilmiah mengenai penilaian-penilaian (judgments). Mereka juga mempercayai bahwa pengetahuan dapat disusun secara objektif berdasarkan pengujian secara empiris.
Menurut Vasquez, teori empiris yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. memiliki kekuatan dalam penjelasan
  2. akurat dan terbatas
  3. dapat diverifikasi
  4. terbuka terhadap perbaikan
  5. universal dan tidak relatif
  6. parsimonious (hemat)
  7. konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya
Pendekatan-pendekatan postpositivis adalah critical theory, postmodernisme, konstruktivisme, dan teori normatif. Critical theory adalah pengembangan dari pemikiran Marxis yang bertujuan untuk membuka topeng dominasi global negara-negara kaya yang berasal dari Dunia Utara terhadap negara-negara miskin. Critical theory memandang kebenaran sebagai sesuatu yang secara bawaan bersifat politik. Menurut mereka, ilmuwan dan ilmu-ilmu sosial merupakan instrumen kekuasaan. Kaum positivis percaya bahwa kajian ilmiah harus bersifat netral atau bebas nilai, namun bukan berarti tidak dapat digunakan untuk mendukung nilai-nilai tertentu, misalnya teknologi nuklir dapat digunakan untuk mendukung pertahanan nasional.
Postmodernisme mempertentangkan persoalan kenyataan, kebenaran, dan gagasan bahwa di dunia ini terdapat pengetahuan yang meluas mengenai dunia manusia. Menurut para postmodernis, naratif, termasuk metanaratif, selalu dibentuk oleh para teoris, dan oleh karenanya selalu dipengaruhi oleh prasangka dan sudut pandang mereka. Jalan cerita (narrative) tersebut dapat didekonstruksi, yaitu dengan memisahkan dan membuka elemen-elemen subjektif dan maksud-maksud yang tersembunyi di belakangnya.Konstruktivisme bersepakat dengan kaum positivis bahwa kita dapat mengumpulkan pengetahuan yang sah mengenai dunia ini. Yang membuatnya bertentangan dengan para positivis adalah bahwa pendekatan ini menekankan pentingnya peran dari gagasan-gagasan dan pengetahuan bersama mengenai dunia sosial. Negara-negara saling membentuk satu sama lain dalam hubungan-hubungan mereka, dan mereka juga membentuk anarki internasional yang mendefinisikan hubungan-hubungan tersebut: anarki dibuat oleh negara-negara itu sendiri.
Sedangkan teori normatif adalah teori yang menjelaskan isu-isu moral yang mendasar dari hubungan internasional. Pandangan-pandangan normatif utama adalah kosmopolitanisme dan komunitarianisme yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan kompleks seperti hak-hak apa saja yang dimiliki negara dan yang dimiliki oleh individu dan mana yang lebih utama di antara hak individu dan negara. Etika internasional memusatkan perhatian pada pilihan-pilihan moral yang harus diambil oleh para negarawan. Dua dimensi metodologis yang mendasar adalah sifat dari dunia sosial (ontologi) dan hubungan antara pengetahuan kita dan dunia tersebut (epistemologi). Dimensi ontologis memusatkan perhatian pada sifat dari kenyataan sosial, apakah bersifat objektif atau subjektif (bentukan manusia). Dimensi epistemologis memusatkan perhatian pada cara kita mendapatkan pengetahuan mengenai dunia, apakah kita dapat menjelaskannya secara ilmiah atau memahaminya secara interpretatif. Terdapat perbedaan antara menjelaskan Hubungan Internasional dan memahaminya. Menjelaskan Hubungan Internasional berarti membangun suatu  ilmu sosial yang valid dengan proposisi-proposisi yang teruji secara empiris. Di ujung yang lain adalah usaha untuk memahami Hubungan Internasional, yaitu untuk mengerti dan menafsirkan topik-topik substantif yang menjadi kajian di dalamnya. Menurut pandangan ini, permasalahan-permasalahan historis, legal-formal, dan moral, mengenai politik dunia tidak dapat diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan tanpa salah mengartikannya.
Perdebatan Metodo

Pada ketidakjelasan perspektif postmodernisme ditunjukan dengan Tanda tanya di belakang yang mengacu terhadap epistemologi dan ontologinya karena posmodernisme menganut paham nihilis.
Terdapat pemisahan antara pandangan yang bersifat konfrontasionis dan kooperatif dalam hal metodologi ini. Pandangan pertama melihat jurang yang tak dapat disatukan antara metodologi positivis dan postpositivis. Meskipun demikian, terdapat juga pendekatan-pendekatan yang merupakan jalan tengah di antara keduanya.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar