Violence Peach and Peach Research
by Frederikus Kutanggas
Kekerasan
struktural yang menjadi dasar bagi teori Johan Galtung mengenai perdamaian
positif juga sangat Gandhian. Galtung mencoba menggabungkan analisis yang
berorientasi aktor dengan analisis yang berorientasi struktur (Windhu, 1992:
xxii‑xxiii). Antara aktor dan struktur harus ada interaksi yang seimbang
(Windhu, 1992: 29). Menurut Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi
sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah
realisasi potensialnya (Windhu, 1992: 64). Kekerasan di sini didefinisikan
sebagai penyebab perbedaan antara yang potensial dan yang aktual. Di satu pihak
manusia mempunyai potensi yang masih ada di "dalam", dan di lain
pihak, potensi menuntut untuk diaktualkan yaitu dengan mereali-sasikan dan
memperkembangkan diri dan dunianya dengan nilai‑nilai yang dipegangnya.
Pengertian "actus" di sini mencakup kegiatan, aktivitas yang tidak
tampak (seperti berfikir, bermenung, serta kegiatan mental atau psikologis
lainnya) serta kegiatan, tindakan, aktivitas yang dapat diamati/tampak. Inilah
kiranya yang menjadi titik tolak dalam memahami kekerasan sebagai penyebab
perbedaan antara yang aktual dan yang potensia. Pengandaian dasarnya ialah apa
yang bisa atau mungkin diaktuali-sasikan, harus direalisasikan (Win-dhu, 1992:
66). Walaupun pada kenyataannya tidak semua potensia kemudian berkembang
menjadi actus. Pemahaman Galtung tentang kekerasan lebih ditentukan pada segi
akibat atau pengaruhnya pada manusia. Galtung tidak membeda-kan violent acts
(tindakan‑tindakan yang keras, keras sebagai sifat) dengan acts of violence
(tindakan‑ tindakan kekerasan) (Windhu, 1992: 65).
Galtung juga menguraikan enam dimensi penting dari
kekerasan yaitu:
1. Kekerasan
fisik dan psikologis. Dalam kekerasan fisik tubuh manusia disakiti secara
jasmani bahkan sampai pada pembunuh-an. Sedangkan kekerasan psiko-logis adalah
tekanan yang di-maksudkan meredusir kemam-puan mental atau otak.contohnya
kebohongan,cuci otak,indrokinasi,dan berbagai ancaman lainya.
2. Pengaruh
positif dan negatif. Sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang
sebenarnya terdapat "pengendalian", tidak bebas, kurang terbuka,
cenderung ma-nipulatif, meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria.
3. Ada
objek atau tidak. Dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan fisis
dan psikologis, meskipun tidak memakan korban tetapi memba-tasi tindakan
manusia.
4. Ada
subjek atau tidak. Kekerasan disebut langsung atau personal jika ada
pelakunya, dan bila tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak langsung.
Kekerasan tidak langsung sudah menjadi bagian struktur itu (strukturnya jelek)
dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan
peluang hidup tidak sama.
5. Disengaja
atau tidak. Bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan, pemahaman yang
hanya menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup untuk melihat, mengatasi
kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan tidak disengaja. Dari sudut
korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan.
6. Yang
tampak dan tersembunyi. Kekerasan yang tampak, nyata (manifest), baik yang
personal maupun struktural, dapat dilihat meski secara tidak langsung.
Sedangkan kekerasan tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan
(latent), tetapi bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi akan terjadi
jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual
dapat menurun dengan mudah. Kekerasan tersembunyi yang struktural terjadi jika
suatu struktur egaliter dapat dengan mudah diubah menjadi feodal, atau
revolusi hasil dukungan militer yang hirarkis dapat berubah lagi menjadi
struktur hirarkis setelah tantangan utama terlewati (Windhu, 1992: 68‑72).
Galtung juga membedakan kekerasan personal dan struktural. Sifat kekerasan
personal adalah dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi yang hebat
yang dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan struktural sifatnya
statis, memperlihatkan stabilitas tertentu dan tidak tampak. Dalam masyarakat
statis, kekerasan personal akan diperhati-kan, sementara kekerasan struktural
dianggap wajar. Namun dalam suatu masyarakat yang dinamis, kekerasan personal
bisa dilihat sebagai hal yang berbahaya dan salah, sementara kekerasan
struktural semakin nyata menam-pilkan diri (Windhu, 1992: 73).
Kekerasan personal bertitik berat pada "realisasi jasmani aktual".
Ada tiga pendekatan untuk melihat kekerasan personal yaitu cara‑cara yang
digunakan (menggu-nakan badan manusia atau senjata), bentuk organisasi
(indivi-du, massa atau pasukan), dan sasaran (manusia). Kekerasan personal
dapat dibedakan dari susunan anatomis (secara struktural) dan secara fungsional
(fisiologis). Pembedaan antara yang anatomis dan fisiologis terletak pada
kenyataan bahwa yang pertama sebagai usaha menghan-curkan mesin manusia sendiri
(badan), yang kedua untuk mencegah supaya mesin itu tidak berfungsi (Windhu,
1992: 74).
Mekanisme kekerasan struk-tural dalam bentuk enam faktor yang mendukung
pembagian tidak egaliter meliputi urutan kedudukan linear, pola interaksi yang
tidak siklis, korelasi antara kedudukan dan sentralitas, persesuaian antar
sistem, keselarasan antar kedu-dukan, dan perangkapan yang tinggi antar
tingkat. Sistem sosial akan cenderung mengembangkan keenam mekanisme ini yang
pada akhirnya memperbesar ketidak-samaan. Dalam beberapa struktur ketidaksamaan
terjadi begitu rupa sehingga pelaku yang berkedu-dukan paling rendah tidak
hanya relatif terhalangi dimensi potensial-nya, tetapi juga sungguh‑sungguh
berada di bawah batas minimum subsistensinya. Struktur tidak memungkinkan
mereka membangun kekuatan, mengorganisir dan mewujudkan kekuasaannya berhadapan
dengan "pihak yang kuat". Mereka terpecah belah, kurang integrasi dan
kurang mempunyai kekuasaan atas diri sendiri, otonomi yang cukup untuk
menghadapi pihak yang kuat. Jadi kekerasan personal maupun struktural
membahayakan jasmani, tetapi kekerasan struktural lebih sering dilihat sebagai
kekerasan psikologis. Perbedaannya hanya dalam cara tetapi akibatnya memperlihatkan
hasil yang serupa (Windhu, 1992: 75).
Perbedaan kekerasan perso-nal dan kekerasan struktural tidak tajam. Keduanya
bisa mempunyai hubungan kausal dan mungkin pula hubungan dialektis. Pembeda-an
antara kekerasan personal dan kekerasan struktural berarti mela-laikan unsur
struktural dalam kekerasan personal dan unsur personal dalam kekerasan
struk-tural.
Walaupun kekerasan sudah menjadi satu dengan struktur, namun ada saja orang
yang tampaknya menjadi beringas dalam hampir semua kejadian. Ini berarti mereka
menampakkan kecende-rungan kerasnya di luar konteks struktural yang masih bisa
diterima masyarakat luas (Windhu, 1992: 76).
Menurut Galtung satu jenis kekerasan tidak mengandaikan kehadiran nyata jenis
kekerasan lainnya. Namun, juga diakui bahwa kemungkinan kekerasan struktural
nyata mengandaikan kekerasan personal tersembunyi. Misalnya, jika struktur
terancam, mereka yang mendapat keuntungan dari kekerasan struktural, terutama
mereka yang berada pada posisi puncak akan berusaha memperta-hankan status quo
untuk melindungi kepentingan‑ kepenti-ngannya. Mereka ini bisa saja tidak
tampil terang‑terangan untuk membela struktur, tetapi dengan menggunakan
"alat" (polisi, tentara bayaran) untuk memerangi sumber‑ sumber
kekacauan, sementara mereka sendiri tetap tinggal jauh terasing dan terpencil
dari pergolakan kekerasan personal (Windhu, 1992: 77).